Advertisement
Dalam era digital yang semakin deras, tantangan utama bagi umat Islam dan khususnya pengurus cabang & ranting NU adalah bagaimana menyikapi arus informasi, hoaks, dan radikalisme yang terus berkembang. Sebagaimana yang disampaikan bahwa di Nahdlatul Ulama NTB, salah satu tantangannya ialah literasi digital yang masih perlu penguatan di kalangan santri dan kader muda.
Ketika informasi berkecepatan tinggi — melalui media sosial, platform video, pesan instan — maka kecepatan bukanlah jaminan kebenaran. Inilah kesempatan NU untuk menghadirkan moderasi beragama melalui penguatan literasi digital: membekali santri dan warga nahdliyyin dengan kemampuan menelaah, memverifikasi, memilah, bukan hanya ikut-arus. Dengan demikian, dakwah menjadi tidak sekadar menyampaikan butir syariat, melainkan juga membekali umat agar tidak tertipu oleh narasi ekstrem atau manipulasi.
Dari sisi hikmah → moderasi bukan berarti pasif atau menyusut; justru hadir aktif sebagai penyeimbang dan penjernih. Ketika NU aktif membangun ekosistem digital yang sehat — misalnya ruang dialog daring, konten yang ramah anak muda, kanal moderat yang mudah dijangkau — maka nilai-nilai Islam Nusantara, toleransi, gotong-royong dapat meresap dalam gaya hidup generasi kini.
Praktik nyatanya: ranting-ranting NU bisa menyelenggarakan pelatihan literasi digital di level desa, mengajak generasi muda belajar cara aman bermedia sosial, mengenali klikbait, mengolah konten dakwah kreatif dan relevan. Dengan demikian, moderasi bukan sekadar slogan, tetapi menjadi praktik keseharian — berdakwah dengan cara kekinian, tetap akhlak (etik) dan iman jadi fondasi.
Akhirnya, umat yang melek digital bukan hanya menerima pesan, tapi turut menyebarkan kebaikan, menjadi filter sosial. Inilah hikmah yang dapat digarisbawahi: dalam dunia yang semakin cepat, kebenaran dan kebijaksanaan harus bergerak lebih cerdas.
